Rabu, 26 Mei 2010

NASIB PT DIRGANTARA SAAT INI........

http://jawapos.co.id/halaman/index.php?act=detail&nid=125194
Berita Utama
[ Senin, 29 Maret 2010 ]

Upaya PT Dirgantara Indonesia Bertahan di Industri Pesawat Terbang

Bangkit Lewat Ketiak Sayap Airbus

Dalam beberapa kesempatan, Prof Dr Ing Bacharuddin Jusuf Habibie mengaku
sangat kecewa melihat nasib PT Dirgantara Indonesia. Sebab, industri
pesawat terbang yang dirintisnya itu kini jalan di tempat. Bagaimana
kondisinya sekarang?

---

" KITA pernah mengembangkan sendiri pesawat terbang CN-235 dan N-250
untuk membuktikan bahwa SDM Indonesia mampu menguasai dan mengembangkan
teknologi secanggih apa pun. Di mana itu semua sekarang?" tegas B.J.
Habibie, mantan presiden RI, di depan peserta kuliah umum bertema
Filsafat dan Teknologi untuk Pembangunan di Balai Sidang Universitas
Indonesia (UI), Depok, Jumat lalu (12/3).

Ya, PT Dirgantara Indonesia (PT DI) memang tidak bisa dibandingkan
dengan ketika perusahaan itu masih bernama Industri Pesawat Terbang
Nurtanio (IPTN) dan Habibie masih menjabat presiden direktur. Saat itu
IPTN memiliki 16 ribu karyawan. Kompleks gedung IPTN di kawasan Jalan
Pajajaran, Bandung, berdiri megah, menempati lahan seluas 83 hektare.

Yang paling laris adalah pesawat CN-235. Pesawat berkapasitas 35 sampai
40 orang itu paling banyak diorder dari dalam negeri maupun luar negeri.
Selain itu, ada pesawat C-212 (kapasitas 19-24 orang). Produk chopper
alias helikopter juga tak mau kalah. Ada NBO-105, NAS-332 Super Puma,
NBell-412, dan sebagainya. Semua produk burung besi tersebut begitu
membanggakan bangsa saat itu.

Namun, persoalan muncul saat krisis ekonomi menggebuk Indonesia pada
1998. Ketika itu, PT DI yang bernama Industri Pesawat Terbang Nusantara
(IPTN) mendapat order membuat pesawat N-250 dari luar negeri. Pesawat
terbang ini berkapasitas 50 hingga 64 orang. Sebuah kapasitas ideal
untuk penerbangan komersial domestik. Umumnya pesawat domestik di tanah
air saat ini menggunakan pesawat dari kelas yang tak jauh berbeda dari
N-250.

PT DI menerima pesanan 120 pesawat. Ongkos proyek yang disepakati USD
1,2 milliar. PT DI langsung tancap gas. Ribuan karyawan direkrut.
Mesin-mesin pembuat komponen didatangkan. ''Kami berupaya keras
menyelesaikan proyek itu sesuai target,'' tutur Direktur Integrasi
Pesawat PT DI Budiwuraskito saat ditemui Jawa Pos di Bandung pekan lalu.

Namun, PT DI harus menelan pil pahit. Pemulihan krisis ekonomi bersama
International Monetary Fund alias IMF mengharuskan Indonesia menerima
sejumlah kesepakatan. Salah satunya, Indonesia tak boleh lagi berdagang
pesawat. ''Itu benar-benar memukul kami,'' kata Budiwuraskito, pria
Semarang ini.

Padahal, kata Budi, PT DI telanjur merekrut banyak karyawan. Sejumlah
teknologi dan peralatan sudah didatangkan. Semua siap produksi. Pesawat
contoh bahkan sudah jadi, sudah bisa terbang, dan siap dijual. Tinggal
menunggu proses sertifikasi penerbangan. ''Nggak tahu, mungkin ada
negara yang takut tersaingi kalau Indonesia bikin pesawat,'' ujarnya
mengingat sejarah kelam PT DI itu.

Bayangan menerima duit gede USD 1,2 milliar menguap. Malah, PT DI harus
memikirkan cara menghidupi karyawan yang telanjur direkrut. Proyek
memang batal, tapi orang-orang yang hidup dari PT DI juga tetap harus
dikasih makan. ''Akhirnya, mau tidak mau, kami mem-PHK karyawan secara
baik-baik,'' katanya.

Pada 2003, PT DI memutus kerja sembilan ribu lebih karyawan. Jumlah itu
terus bertambah. Dari 16 ribu pekerja, PT DI hanya menyisakan tiga ribu
pekerja. Baik di bagian produksi maupun manajemen. Kondisi itu semakin
membuat PT DI terpuruk. Apalagi, tak ada lagi order pesawat yang datang.
Roda perusahaan pun tak berjalan.

Namun, PT DI berupaya mempertahankan diri. Semua pasar yang bisa
menghasilkan duit disasar. Mulai pembuatan komponen pesawat hingga
industri rumah tangga seperti pembuatan sendok, garpu, dan sejenisnya.
Salah satunya membuat alat pencetak panci.

''Pabrik-pabrik pembuat panci itu kan perlu alat pencetak. Biasanya
mereka impor dari luar negeri. Mengapa harus impor kalau bisa kita
bikinin. Dan, itu lumayan untuk membuat roda perusahaan berjalan,'' kata
Budi. Tapi, urusan panci itu tak banyak membantu. Pada 2007, BUMN yang
didirikan pada 26 April 1976 itu dinyatakan pailit alias bangkrut.

***

PT DI tak lantas almarhum. Pemerintah masih punya keinginan
mengembangkannya meski modal yang diberikan tak terlalu deras. Dan,
kendati sudah dinyatakan pailit, masih ada rekanan dari mancanegara yang
percaya akan kualitas produk PT DI.

Salah satunya British Aerospace (BAE). PT DI mendapat order sebagai
subkontrak sayap pesawat Airbus A380 dari pabrik burung besi asal
Inggris itu. Juga ada order dari dua negara Timur Tengah enam pesawat
jenis N-2130. Apalagi, Indonesia sudah menceraikan IMF. Artinya, PT DI
sudah leluasa berdagang pesawat.

Budi menuturkan, order enam pesawat itulah yang bisa dibilang
''menyelamatkan'' PT DI saat itu. Laba dari pesanan itu digunakan
sebagai modal pengembangan. Selain itu, PT DI semakin fokus menggarap
pasar komponen dan bagian-bagian pesawat dengan menjadi subkontrak atau
offset program. Antara lain bagian inboard outer fixed leading edge
(IOFLE) dan drive rib alias ''ketiak'' sayap milik Airbus A380.

Airbus A380 adalah pesawat bikinan Airbus SAS (Prancis) yang sudah
kondang di jagat dirgantara. Pesawat ini biasanya digunakan untuk
penerbangan internasional lintas benua dengan muatan 500 hingga 800
penumpang. ''Kita mencoba meraih untung dengan menjadi subkontrak dari
pemain besar,'' kata Budi.

Kondisi PT DI terus membaik. Dalam waktu dekat mereka akan memproduksi
pesawat tempur dengan dana urunan bersama pemerintah Korea Selatan
(Korsel) sebesar USD 8 milliar. Indonesia menyumbang USD 2 milliar,
sedangkan pemerintah Korsel USD 6 milliar. ''Tapi, untuk Indonesia itu
akan kita konversikan dalam bentuk tenaga, teknologi, dan pengembangan
pesawat tersebut,'' katanya.

Kemampuannya tak jauh berbeda dengan F-16 Fightning Falcon, pesawat
tempur kondang buatan Amerika Serikat yang digunakan 24 negara di dunia.
Rinciannya, 200 unit untuk Korsel dan 50 untuk Indonesia. ''Proyek ini
memakan waktu sampai tujuh tahun,'' kata Budi.

Selain itu, order dari Timur Tengah terus berdatangan. Sejumlah negara
memesan CN-235 untuk pesawat pengawas pantai, pengangkut personel
militer, dan pemantau perbatasan. Dari dalam negeri, Kementerian
Pertahanan (Kemhan) juga memesan enam unit helikopter dan Badan SAR
Nasional (Basarnas) empat unit.

Budi mengakui, tren industri dirgantara di Indonesia terus naik kendati
perlahan. Paling tidak, tujuh tahun ke depan, PT DI bisa meraup laba
yang lumayan dari membuat pesawat. Sebenarnya, kata Budi, keuntungan itu
bisa didongkrak bila ada keberanian mencari pinjaman. Tapi, itu bakal
sulit. ''Tidak banyak bank yang mau. Sebab, risikonya terlalu tinggi.
Padahal, semakin tinggi risiko, janji revenue juga besar,'' kata Budi
yang lulusan Teknik Penerbangan, Institut Teknologi Bandung (ITB), dan
menyelesaikan gelar MBA di Belanda itu.

Strategi pengembangan PT DI saat ini, kata Budi, tak bisa terlalu
ekspansif. PT DI memilih berjalan perlahan dengan memanfaatkan margin
keuntungan sebagai modal pengembangan. ''Begini saja, lebih aman,'' kata
Budi lantas tersenyum. (aga/c2/iro)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar